![]() |
Umikun Mukaromah (KOPRI Wonosobo, Jawa Tengah) |
Citra
bahwa laki-laki kuat dan rasional semetara perempuan lemah dan emosional
merupakan kontruksi budaya. Citra tersebut bukanlah kodrat. Pembeda laki-laki
dan perempuan terletak pada biologisnya, itulah yang disebut kodrat.
Kontruksi budaya di atas seringkali
disalahartikan sebagai kodrat sehingga menimbulkan rantai ketidakadilan yang
cenderung menindas baik laki-laki dan khususnya perempuan. PMII memiliki
komitmen terhadap keadilan gender, dan di wujudkan melalui pelembagaan gerakan
perempuan bernama KOPRI.
Sejarah perbedaan gender antara manusia
jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh
karena itu terbentuk perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, di
antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikontruksikan secara
sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara.[1]
A.
Kopri Sebagai Asset Pemberdayaan Perempuan
KOPRI harus memandang potensi kekuatan konstituens yang berlakang
pendidikan memadai, merupakan potensi yang dapat dioptimalkan perannya dalam
gerakan tranformatif. Watak pergerakan yang mengedepankan idealisme merupakan
kekuatan potensi bagi KOPRI untuk menjalankan fungsi social control
sebagai salah satu preassure group. Dengan kekuatan nilai Islam
insklusif dalam bingkai paradigma Ahlu Sunnah wa al-Jamaah menjadi
landasan moril dalam beraktivitas. Maka KOPRI sangat potensial untuk melakukan
trasfomasi menjadi gerakan yang mendukung perjuangan menuju masyarakat yang
berkesetaraan.
Gerakan-gerakan yang muncul kemudian memang memiliki kekuatan human
resources yang kemudian menjadi kiblat bagi gerakan perempuan di Indonesia.
Kondisi ini membuat KOPRI menjadi silau dan minder sehingga lebih memilih untuk
mengembangkan gerakan perempuan melalui wadah-wadah baru tersebut. Akan tetapi
KOPRI memiliki peluang yang bisa dimenej menjadi sebuah kekuatan yang sejajar
bahkan di atas gerakan-gerakan perempuan yang baru ada pada saat wacana gender
muncul, Untuk membangun citra kader KOPRI, dalam buku Potret Gerakan Perempuan
PMII disebutkan, yaitu antara lain:
a) Intelektual-Akademik
Pilihan untuk bergumul dalam dunia intelektual-akademik ini seharusnya
memang merupakan sesuatu yang intern dalam diri kader. Hal ini mengingat kader
KOPRI merupakan insan akademik dalam posisi sebagai mahasiswa aktif yang lekat
dengan atribut intelektual.
b) Gerakan Perempuan
dan Advokasi Sosial
Kultur gerakan merupakan bagian dari cara penyampaian aspirasi dan bentuk
perjuangan kader. Maraknya gerakan perempuan Indonesia sejak terbukanya keran
demokrasi telah manjadi bahasan sendiri dalam agenda global di Indonesia selain
isu HAM dan demokratisasi. Gerakan perempuan ini menemukan momentumnya seiring
dengan membesarnya laju persoalan pelik yang menimpa kaum perempuan.
Persoalan perempuan yang kemudian menjadi isu tersebut secara garis besar
tergambar dari kasus-kasus yang menimpa Tenaga Kerja Wanita yang kian
semerawut, kekerasan dalam rumah tangga, jual beli perempuan dan anak atau trafikking,
masalah pelacuran yang tak mengundang solusi.
Dari masalah di atas
tak ayal aktivis-aktivis perempuan yang getol menempatkan gerakan perempuan
sebagai upaya untuk merubahnya. Karena yang menjadi target utama dalam dari
gerakan perempuan adalah sentuhan persoalan perempuan kepada penentu kebijakan.
Gerakan masa ini dalam sejarahnya dipandang efektif sebagai aplikasi dan fungsi
agent of control terhadap kebijakan Negara. Di sinilah kader KOPRI juga
turut melibatkan diri.
c) Politisi dan
Aktivitas Politik
Menjadi politisi atau menggeluti aktivitas politik bagi kader KOPRI
merupakan sesuatu yang prestis. Namun demikian keterlibatan mereka dalam
wilayah pertarungan ini masih ditampakkan dengan sikap malu-malu baik ketika
mereka masih menjadi mahasiswa atau ketika menyandang gelar alumni.
Berbeda dengan
laki-laki, wilayah politik yang mengharuskan pemainnya terlibat dalam
“pertarungan” membuat kader perempuan enggan berhadapan dengan resiko. Resiko
yang dimaksud adalah spekulasi intrik dan konspirasi didalamnya.
d) Professional
Kader yang menentukan pilihan ini dalam hitungan jari. Pasalnya kader KOPRI
yang memilki titik kecenderungan menekuni sebuah profesi secara professional
(diangap kurang popuer) dibandingkan dengan garapan lainnya, terutama politik.
Hal ini bisa dimaklumi mereka tidak dapat enjoy dan mengaktualisasikan
gagasannya mengingat iklim yang tercipta tidak (belum) kondusif.
Penyebab lainnya adalah latar belakang akademis kader KOPRI yang masih berkisar
pada Islamic Studies. Komunitas KOPRI tidak mampu mensuplai kebutuhan
pasar berupa tenaga kerja yang professional yang mensyaratkan kemampuan
teknokratis. Akibatnya posisi dalam birokrasi, sektor swasta tidak diduduki
kader-kader KOPRI.
e) Kelompok
Sosial Keagamaan
Inilah pilihan citra diri kader Kopri yang menempati posisi mayoritas.
Posisi mereka pada kelompok sosial keagamaan, jika mau jujur sesungguhnya
bukanlah pilihan prioritas.
Bermodal basic
pendidikan Pesantren yang sarat nilai-nilai agama membuat kader KOPRI banyak
mengambil pilihan dalam bidang sosial-keagamaan setelah lulus kuliah. Pilihan
ini terlihat dari aktivitas mereka ketika masih terlibat dalam organisasi PMII.
Di KOPRI mereka banyak menyeburkan diri dalam aktivitas sosial kemasyarakatan
seperti bakti sosial, advokasi anak-anak jalanan, pendidikan alternatif kaum
miskin kota dan pengajian keliling. Aktivitas inilah yang nantinya membentuk
citra diri kader dalam keberpihakan pada aktifitas sosial-keagamaan.
Strategi Pemberdayaan Perempuan
a) Penguatan
Institusi
Strategi pembubaran KOPRI merupakan sikap aksionisme (berbuat asal berbuat)
sebagai dampak eforia kesetaraan gender. Karena kesadaran kesetaraan gender
yang masih ada pada tingkat retorika tetapi tidak aplikatif pada kebijakan.
Karena pembubaran organisasi pada dasarnya bentuk ketidakmampuan sebuah
kelompok untuk tetap bertahan. Dari aspek historis menunjukkan tidak ada
sesuatu yang biasa melahirkan organisasi yang disebut KOPRI.
Akan tetapi meminjam analisa Weber tentang masyarakat, KOPRI bisa menjadi
sebuah masyarakat berdasarkan konvensi dari individu-indvidu yang bukan sebuah
harga mati. KOPRI bisa menjadi sebuah wadah tempat bernegoisasi dari pada
individu-individu yang berada didalamnya, sehingga kesempatan-kesempatan tersebut
didasarkan pada practical needs dan strategic needs dari individu-individu
yang ada didalamnya
b) Mempertegas
Posisi
Kebutuhan akan penguatan institusi perempuan merupakan jawaban yang amat
penting untuk strategi perjuangan kaum perempuan. Karena sebenarnya
pemberdayaan kaum perempuan mau tidak mau masih dilakuakn di dua aras. Aras
pertama adalah pemberdayaan secara individual, pemberdayaan secara individual
inilah yang mengandalkan seleksi alam. Sehingga hasil yang akan diraih oleh
seorang perempuan tergantung seberapa besar bakat dan usahanya sebagai penentu
nasib. Aras kedua, adalah pemberdayaan institusi yang kondusif untuk perjuangan
perempuan dan institusi yang berspektif jender.
c) Penguatan
Ideologi dan Paradigma Gerakan
Penguatan ideologi di sini adalah upaya yang dilakukan untuk menanamkan
penggalian/pengkajian/eksplorasi pemikiran yang berkaitan dengan ideolgi yang
kita anut yaitu Islam Ahlu Sunnah wa al-Jamaah. Bahwa metodologi
berfikir Ahlu Sunnah wa al-Jamaah masih memungkinkan untuk dikembangkan
terutama untuk pemikiran KOPRI tentang kesetaraan gender. Tidak hanya itu bahwa
secara umum masih dibutuhkan eksplorasi lebih lanjut pengembangan pemikiran
yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat secara luas, juga tentang hubungan
Negara dan masyarakat.
Bahwa warga KOPRI harus memahami agenda besar KOPRI yang membentuk kader
perempuan yang memahami Islam secara insklusif dan pluralis agar nantinya dapat
membentuk masyarakat yang demokratis dan berkeadilan gender
d) Reformasi
Produk Hukum, Struktur dan Manajemen Organisasi
Salah satu kelemahan yang menyebabkan KOPRI kurang dapat mempertahankan
institusinya secara menyeluruh adalah manajemen organisasi yang lemah. Kurang
kontrol atau perhatian dari PB kepada cabang adalah salah satu sebab
kader-kader menjadi kurang menaruh kepercayaan kepada KOPRI, namun ini semua
tidak lepas dari kemauan dan responsifitas kader, karena pada dasarnya hubungan
timbal balik top-down, dan bottom up antara PB dan cabang yang
akan sangat menentukan kelangsungan organisasi.
Bahasa sederhana dari uraian tersebut adalah perlunya saling menjaga
komunikasi sehingga terjalin komunikasi dua arah. Dengan demikian tidak terjadi
miscommunication dan misunderstanding antara struktur yang ada di
atas maupun di bawah. Bahwa kesadaran untuk mendapatkan akses informasi dan
beraktivitas adalah kunci utama memanaj institusi KOPRI. Konsolidasi yang
intensif akan dapat menumbuhkan kepercayaan kader sehingga akan memperkuat
institusi secara menyeluruh. Untuk perlu diciptakan design organisasi yang
humanis, fungsional dan rigid antara PB dengan cabang.
e) Penguatan
Intelektual
Salah satu agenda besar KOPRI adalah menjadikan kader-kadernya berkualitas,
dan ini terkait erat dengan intelektualitas. Penguatan intelektual kader adalah
yang mutlak dilakukan dalam upaya memperkuat institusi. Semakin banyak kader
yang berkulitas akan semakin menampakkan bergainning KOPRI secara eksternal.
Upaya yang dapat dilakukan dalam memperkuat intelektual kader adalah dengan
memperkuat sistem kaderisasi, karena sistem kaderisasi yang baik diharapkan
dapat menghasilkan kader-kader yang berkualitas dan mempunyai bergainning
position baik secara internal maupun eksternal.
f) Penguatan
Jaringan
Salah satu modal untuk terus meningkatkan bergainning position KOPRI
secara institusi maupun individu adalah adanya kepercayaan dari luar terhadap
KOPRI untuk melakukan kerjasama bersama apapun bentuk dan orientasinya.
Bahwa hal ini menjadi suatu yang urgen mengingat dengan adanya jaringan
secara tidak langsung KOPRI telah melakukan opinion building ke luar.
Pembangunan jaringan keluar tentu saja tidak begitu saja terjadi namun minimal
ada upaya bagaimana kita diakui, diterima dan dipercaya untuk bisa memberikan
ide-ide/pemikiran kita sehingga KOPRI tidak hanya besar di rumah namun kecil di
luar.
0 komentar:
Posting Komentar