Pages

Rabu, 25 Juni 2014

Kekerasan terhadap Perempuan, harus di hentikan




oleh: Nurul Intani


 Perempuan adalah bagian dari masyarakat yang tidak sama namun setara dengan warga masyarakat lainnya. Laiknya manusia biasa, perempuan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, meskipun terkadang kelebihan dan kekurangan tersebut diumbar secara mengada-ada, namun perempuan toh tetap diam. Bukan karena tidak berani melawan, namun mungkin perempuan sudah bosan, capek, atau justru sedang menunggu momen yang tepat untuk balik mendamprat.
Saya perempuan, namun saya tidak berani mengklaim mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan. Saya hanya bisa menerka apa yang sepertinya benar-benar terjadi.  Perempuan bukan diam, namun didiamkan.Budaya, tradisi masyarakat, bahkan pendidikan yang kita miliki memaksa kita untuk selalu antri dan memberi jalan terlebih dulu pada laki-laki.Kita pun dibuat percaya bahwa Dapur, sumur, dan kasur adalah jalan satu-satunya untuk hidup yang makmur dan mujur.Belum lagi peran agama yang seolah-olah memberi label ‘halal’ untuk menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua; ke neraka ikut kebawa, ke surga bukan jadi penghuni utama.
Isu seputar kekerasan akhirnya bukan merupakan hal asing bagi perempuan, banyak perempuan yang, baik sadar maupun tidak, telah berada dalam lingkaran kekerasan; ada yang pasrah dan menerima, ada yang menentang dan melawan meski tidak ada yang mendengar, ada pula yang justru menjadi penerus tongkat estafet kekerasan tersebut.
Meski demikian, penghapusan kekerasan bukan hanya perkara mengangkat derajat perempuan dan menjadikan mereka setara dengan pria, tetapi lebih dari itu, penghapusan kekerasan berarti langkah besar untuk memasuki kehidupan yang tepat dan bermartabat.
Pendidikan adalah isu utama yang harus dirangkul dalam upaya untuk menghentikan kekerasan, melalui pendidikan, perempuan diajak untuk bersikap kritis dan mengerti bahwa mereka tidak boleh dinomorduakan, disingkirkan, apalagi dijadikan objek kekerasan.Selama ini, perempuan dipaksa untuk meyakini bahwa mereka lemah, sehingga memandang kekerasan sebagai hal yang lumrah.Menerima, memaafkan, dan akhirnya terbiasa dengan kekerasan merupakan ‘siklus bulanan’ yang sesungguhnya bagi perempuan.Oleh karenanya, penyadaran dan penguatan melalui pendidikan merupakan hal penting yang tidak boleh lagi dipending.
Namun demikian, kekerasan bukan hanya masalahperempuan, karena ada laki-laki yang ikut bertengger dalam lingkaran kekerasan tersebut.Oleh karenanya, pelibatan laki-laki dalam upaya penghentian kekerasan turut menjadi hal penting lainnya yang harus dilakukan. Laki-laki harus mengerti bahwa melakukan kekerasan sama sekali tidak akan membuat mereka jantan, kekerasan adalah kejahatan kemanusiaan yang harus dihentikan!
Melepaskan perempuan dari kekerasan adalah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada perempuan untuk berkembang dan menjadi perempuan seutuhnya. Yakni perempuan yang mengayomi, mengasuh, dan mendidik generasi-generasi penerus bangsa. Sudah saatnya bangsa ini ‘gantian’ dipimpin oleh perempuan, terlebih perempuan memiliki beberapa nilai lebih seperti, lebih tahan banting, dapat mengerjakan multi tasking job dengan konsentrasi dan fokus yang sama baiknya (Ardini Maharani, 2013:1), dll, yang kesemuanya itu menjadikannya kandidat kuat sebagai pemegang tampuk kepemimpinan bangsa. Perempuan boleh dan harus membuktikan bahwa dengan kesempatan dan kepercayaan yang setara, perempuan dapat berkembang dan bahkan ‘hijrah’ dari sekedar dapur, sumur, kasur, menuju negara, bangsa, dan masa depan yang lebih tertata.


Kerasan Dengan Kekerasan

Mengajak perempuan untuk bangun dari ketidaksadaran dan ketidakberdayaan memang merupakan proses panjang. Tidak mudah untuk meyakinkan perempuan bahwa kita bisa menjadi lebih baik dari ini. Dengan kata lain, menjadi perempuan yang setara adalah tantangan, karena hal ini bukan saja berarti perempuan bangkit dan melawan narasi hidup yang mereka alami, tetapi merupakan proses untuk terus menunjukkan bahwa kami bisa melakukan apa yang kalian bisa lakukan.
Harus diakui bahwa usaha untuk menjegal dan menghentikan kekerasan yang terjadi pada perempuan bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Selain karena faktor pelaku kekerasan (biasanya laki-laki) yang sudah terlanjur ketagihan, perempuanpun masih memilih untuk cenderung diam, membiarkan, dan memaafkan. Data kasus kekerasan yang di catat oleh komnas perempuan sepanjang tahun 2013 silam benar-benar menakutkan, yakni sebanyak 279.760 kasus! 
Adalah tanggung jawab kita semua untuk bersama-sama menghentikan kekerasan ini terulang kembali. Tidak ada satupun perempuan yang kerasan dengan kekerasan. Namun ibarat api, kekerasan tidak dapat dan tidak boleh dihentikan dengan cara-cara kekerasan pula, pelaku kekerasan harus dibuat mengerti dan menyesal, bukan malah dengki dan penuh dendam, bahwa kekerasan adalah tindakan biadab yang merendahkan martabat manusia sebagai makhluk yang berakal dan berperasaan.
Mungkin, para pelaku kekerasan itu adalah sekelompok orang-orang yang tidak berani bersaing dengan perempuan, sehingga mereka mencegah dan menakut-nakuti perempuan untuk tidak berkembang.Namun, perempuan yang mendiamkan kekerasan adalah juga orang yang tidak berniat pada perbaikan dan kemajuan.
Jika selama ini isu-isu tentang perempuan masih terkesan dikesampingkan, maka inilah saatnya dimana perempuan harus bangkit dan menunjukkan bahwa mereka ada bukan untuk disiksa. Meskipun perjuangan ini masih panjang dan terkesan berat untuk dilakukan, namun hal ini harus segra dimulai.Perempuan dan laki-laki harus mengerti bahwa kita semua ada untuk saling melengkapi dan membuat narasi kehidupan yang penuh harmoni.
Kekerasan adalah segala sesuatu yang umumnya berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan yakni penggunaan kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan tersebut, dan menyebabkan kerugian baik untuk diri sendiri maupu orang atau objek lain (Adolf Berger. 1953). sementara Defenisi kekerasan terhadap perempuan yang ada dalam Deklarasi PenghapusanKekerasan Terhadap Perempuan (PBB, 1993) adalah;

Pasal 1 dari Deklarasi menyatakan:
Kekerasan terhadap perempuan adalah “setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi”.

Pasal 2 dari Deklarasi menyatakan :

“Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada: tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga dan di masyarakat, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan (marital rape), pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktik- praktik kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan diluar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa. Serta termasuk kekerasan yangdilakukan dan dibenarkan oleh negara di manapun terjadinya”.
Berikut adalah faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan, yakni

a.      Ketiadaan dukungan sosial yang memahami kompleksitas situasi yang dihadapi perempuan.
Hal ini terutama terjadi apabila perempuan ditempatkan hanya dalam ruang domestik. Orang yang berada di luar ruang tersebut cenderung tidak berani masuk untuk bertanya apalagi membantu
b.      Citra diri yang negatif.
Perempuan cenderung memandang rendah diri mereka sendiri dan mengikatkan diri secara berlebihan kepada laki-laki (pasangan). Terkadang menganggap kekerasan wajar di berikan karena dirinya yang keliru bersikap, atau tidak cukup memuaskan keinginan pasangan sehingga ada pemakluman yang dibuat sendiri sebagai bentuk hukuman atas kesalahan yang dilakukan.
c.      Keyakinan bahwa pelaku kekerasan (pasangan) akan berubah
Umumnya perempuan mempercayai bahwa si pelaku kekerasan pada dasarnya adalah orang yang baik, tindak kekerasan yang ia lakukan hanyalah respon terhadap stress dan tekanan hidup saja. Sehingga kelak pasti akan berubah. Dan dari beberapa kasus yang pernah saya tangani, rata-rata perempuan cenderung memaafkan meskipun kekerasan sudah di lakukan berkali-kali
d.      Kesulitan ekonomi.
Perempuan, terutama yang tidak produktif secara ekonomi, cenderung menerima tindak kekerasan karena ketergantungan ekonomi. Mereka lebih takut menghadapi kerasnya berjuang mencari arti kemandirian dan cenderung menikmati kekerasan yang sebenarnya tidak mereka kehendaki
e.      Kekhawatiran tidak dapat membesarkan anak dengan baik tanpa kehadiran pasangan; atau keyakinan bahwa apapun yang terjadi, keluarga dengan orang tua lengkap masih lebih baik daripada keluarga dengan orangtua tunggal. Perempuan cenderung mengesampingkan apa yang dirasakan dan lebih memilih ‘aman’ dari gunjingan tetangga.
f.       Keraguan bahwa mereka akan dapat bertahan dalam dunia yang kejam, karena merasa suami yang selama ini baik padanya saja bisa berbuat jahat terhadapnya, apalagi lingkungan sosial yang tidak terlalu dikenalnya.
g.      Akhirnya perempuan dapat terus bertahan dalam kondisi kekerasan, karena kekhawatiran adanya pembalasan dan kekerasan yang lebih hebat yang akan diterimanya (dan dialami orang-orang yang dekat dan dicintainya) bila ia berusaha meninggalkan pasangannya (Luhulima, 2000: 33).


Perempuan: melawan dan bangkit

Sebagai seorang perempuan yang konsen terhadap isu kekerasan pada perempuan, saya percaya bahwa perempuan memiliki peranan yang penting dalam kemajuan sebuah bangsa. Penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan langkah awal untuk melibatkan perempuan dalam proses pengembanan dan kemajuan bangsa.
Jika saya menjadi pemimpin perempuan, hal utama yang akan saya lakukan pertama adalah terkait dengan isu-isu kesetaraan gender. Yakni:

a.    Penyadaran hak dan kewajiban perempuan

Kesadaran tentang hak dan kewajiban yang minim dilandasi oleh pendidikan yang rendah, semakin rendah semakin pasrah (mungkin itu ungkapan yang paling tepat disandingkan sebagai analogi perempuan yang masih saja tak di beri kesempatan mendapat pendidikan). Perempuan bukan lagi minoritas (secara kuantitas), pun secara kualitas mereka mampu sejajar dengan laki-laki bahwa bisa jauh diatas laki-laki. Dari situlah, ada sebuah keyakinan bahwa perempuan bisa dan berdaya untuk menjadi merdeka.

b.    Upaya melek hukum

Perempuan setidaknya diajak untuk membaca dan mempelajari bahwa kekerasan adalah tindakan yang melanggar hukum, sehingga hal itu memiliki konseksuensi hukum bagi pelakunya. Bukan perbuatan yang selesai hanya dengan pemakluman, ketika perempuan melek hukum, maka secara tidak langsung mereka akan mampu bertindak tegas ketika ada perilaku tidak menyenangkan terjadi

c.    Keamanan

Rasa aman harus diwujudkan sebagaimana hal tersebut merupakan semangat kehidupan berbangsa yang berlandaskan pada demokrasi. Selama ini ruang public seakan tidak member jaminan keamanan pada perempuan, sehingga pelecehan seksual masih sering terjadi (pelecehan seksual di busway misalnya). Dari fenomena itulah perlu adanya pengawasan dan penanganan lebih lanjut agar perempuan aman dan tidak terancam dimanapun.

d.    Pendampingan hukum

Melek hukum bukan jaminan bahwa perempuan, terutama korban kekerasan memiliki kemampuan dan kemauan untuk membawa kasus kekerasan yang mereka alami ke ranah hukum. Oleh karenanya diperlukan pendampingan hukum kepada korban kekerasan hingga proses hukum selesai. Agar tindakan-tindakan diskriminatif maupun pelecehan yang terjadi pada perempuan tidak menguap dan disepelekan begitu saja

e.    Peningkatan partisipasi perempuan
Ruang apresiasi jelas sangat dibutuhkan untuk mendengar kelur kesah perempuan, budaya yang masih menganggap perempuan subordinasi menjadi alasan kenapa perempuan terus saja di pandang sebelah mata, ‘konco wingking’ dan hanya pelengkap. Di posisikan di belakang dan tidak cukup di dengar pendapatnya.

Menjadi pemimpin perempuan memang bukan perkara remeh, selain banyak yang mencibir banyak juga yang masih meragukan kemampuan perempuan dan berpendapat bahwa kepemimpinan yang dipegang perempuan akan gagal. Meskipun sudah banyak bukti pemimpin perempuan yang mampu memimpin bangsa, namun hal tersebut belum cukup kalau perempuan sendiri tidak yakin dengan kemampuannya sendiri dan memperjuangkannya. Tidak hanya sosial yang masih mempertanyakan, dalil-dalil agama pun ikut andil untuk menghancurkan semangat perempuan untuk bangkit. Padahal sebagaimana kita ketahui, menjadi pemimpin adalah bukan perkara kelamin, melainkan perkara mengorganisir, memanagement dan mengelola.
Terdapat empat factor yang berpengaruh dalam kepemimpinan perempuan (Kanter 1976) yakni:
1.    The mother (keibuan).
Pemimpin perempuan cenderung bersikap sebagaimana layaknya seorang ibu (naluriah). Pemimpin perempuan cenderung ‘ngemong’ dan sabar dalam memimpin

2.    The pet (kesayangan).
Pemimpin perempuan mampu menjadi teman dekat yang baik sehingga mereka cenderung di sayangi oleh bawahannya. Karena perempuan memilik sikap yang hangat dan terbuka

3.    The sex object (dorongan).
Pemimpin perempuan mampu menjadi penyemangat dan motivator bagi para anak buahnya/ karyawannya.

4.    The iron maiden (wanita besi).
Pemimpin perempuan mampu bersikap tegas dan kuat dalam menghadapi situasi. Mungkin hal ini bisa saja di kaitkan dengan culture perempuan yang terbiasa dibesarkan dengan berbagai macam kondisi hidup yang keras. Sehingga secara tidak langsung hal tersebut membuat perempuan cenderung lebih tangguh

Hal ini menjadi bukti bahwa ada banyak hal yang mampu dijadikan bukti bahwa perempuan berhak dan layak menjadi seorang pemimpin. Dan persoalan kepemimpinan tidak lagi dinilai hanya dari persoalan per-kelamin-an tapi persoalan kemampuan dan kemauan, pembatasan-pembatasan dengan dalih agamapun bukan menjadi alasan, karena dalil agamapun harus di sesuaikan dengan konteks yang ada saat ini. Bukan disama ratakan dengan masa ketika alqur’an diturunkan
Makna kesetaraan bukanlah isapan jempol dan imaginasi yang hanya mampir di kepala, tapi hal tersebut merupakan tumpukan harapan yang di bawa oleh sekian banyak perempuan khususnya di Indonesia demi mendapatkan hak yang seharusnya di dapat sejak dulu. Sudah saatnya perempuan di percaya dan di beri kesempatan memimpin
Pun berbagai macam tindakan diskriminatif karena ketidak adilan gender seperti marginalisasi, subordinasi, beban ganda, kekerasan dan streotip yang sering di terima perempuan mampu lebur dan perempuan mampu beriringan dengan laki-laki dan bukan di anggap sebagai ‘konco wingking’. Karna saya percaya keyakinan akan melahirkan kepercayaan diri yang mampu membawa perempuan ke garda depan.
Terakhir semoga hasil tulisan ini mampu menginspirasi para pembaca terutama para perempuan agar tersadar bahwa kita mampu berkiprah dimanapun (tidak hanya di ruang domestic) tapi juga di ranah public selama kita memiliki kemauan dan tekat yang kuat.

*Tulisan ini telah di terbitkan di dalam buku Bunga Rampai, Imaji Kepemimpinan Perempuan, 2014. Indonesia Beragam


0 komentar:

Posting Komentar