![]() |
oleh: Nurul Intani |
Perempuan
adalah bagian dari masyarakat yang tidak sama namun setara dengan warga
masyarakat lainnya. Laiknya manusia biasa, perempuan memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing, meskipun terkadang kelebihan dan kekurangan
tersebut diumbar secara mengada-ada, namun perempuan toh tetap diam. Bukan karena tidak berani melawan, namun mungkin
perempuan sudah bosan, capek, atau justru sedang menunggu momen yang tepat
untuk balik mendamprat.
Saya
perempuan, namun saya tidak berani mengklaim mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi pada perempuan. Saya hanya bisa menerka apa yang sepertinya benar-benar
terjadi. Perempuan bukan diam, namun
didiamkan.Budaya, tradisi masyarakat, bahkan pendidikan yang kita miliki
memaksa kita untuk selalu antri dan memberi jalan terlebih dulu pada
laki-laki.Kita pun dibuat percaya bahwa Dapur, sumur, dan kasur adalah jalan
satu-satunya untuk hidup yang makmur dan mujur.Belum lagi peran agama yang
seolah-olah memberi label ‘halal’ untuk menempatkan perempuan sebagai
masyarakat kelas dua; ke neraka ikut kebawa, ke surga bukan jadi penghuni
utama.
Isu
seputar kekerasan akhirnya bukan merupakan hal asing bagi perempuan, banyak
perempuan yang, baik sadar maupun tidak, telah berada dalam lingkaran
kekerasan; ada yang pasrah dan menerima, ada yang menentang dan melawan meski
tidak ada yang mendengar, ada pula yang justru menjadi penerus tongkat estafet
kekerasan tersebut.
Meski
demikian, penghapusan kekerasan bukan hanya perkara mengangkat derajat
perempuan dan menjadikan mereka setara dengan pria, tetapi lebih dari itu,
penghapusan kekerasan berarti langkah besar untuk memasuki kehidupan yang tepat
dan bermartabat.
Pendidikan
adalah isu utama yang harus dirangkul dalam upaya untuk menghentikan kekerasan,
melalui pendidikan, perempuan diajak untuk bersikap kritis dan mengerti bahwa
mereka tidak boleh dinomorduakan, disingkirkan, apalagi dijadikan objek
kekerasan.Selama ini, perempuan dipaksa untuk meyakini bahwa mereka lemah,
sehingga memandang kekerasan sebagai hal yang lumrah.Menerima, memaafkan, dan
akhirnya terbiasa dengan kekerasan merupakan ‘siklus bulanan’ yang sesungguhnya
bagi perempuan.Oleh karenanya, penyadaran dan penguatan melalui pendidikan
merupakan hal penting yang tidak boleh lagi dipending.
Namun
demikian, kekerasan bukan hanya masalahperempuan, karena ada laki-laki yang
ikut bertengger dalam lingkaran kekerasan tersebut.Oleh karenanya, pelibatan
laki-laki dalam upaya penghentian kekerasan turut menjadi hal penting lainnya
yang harus dilakukan. Laki-laki harus mengerti bahwa melakukan kekerasan sama
sekali tidak akan membuat mereka jantan, kekerasan adalah kejahatan kemanusiaan
yang harus dihentikan!
Melepaskan
perempuan dari kekerasan adalah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada
perempuan untuk berkembang dan menjadi perempuan seutuhnya. Yakni perempuan
yang mengayomi, mengasuh, dan mendidik generasi-generasi penerus bangsa. Sudah
saatnya bangsa ini ‘gantian’ dipimpin oleh perempuan, terlebih perempuan
memiliki beberapa nilai lebih seperti, lebih tahan banting, dapat mengerjakan multi tasking job dengan konsentrasi dan
fokus yang sama baiknya (Ardini Maharani, 2013:1), dll, yang kesemuanya itu
menjadikannya kandidat kuat sebagai pemegang tampuk kepemimpinan bangsa.
Perempuan boleh dan harus membuktikan bahwa dengan kesempatan dan kepercayaan
yang setara, perempuan dapat berkembang dan bahkan ‘hijrah’ dari sekedar dapur,
sumur, kasur, menuju negara, bangsa, dan masa depan yang lebih tertata.
Kerasan Dengan Kekerasan
Mengajak
perempuan untuk bangun dari ketidaksadaran dan ketidakberdayaan memang
merupakan proses panjang. Tidak mudah untuk meyakinkan perempuan bahwa kita
bisa menjadi lebih baik dari ini. Dengan kata lain, menjadi perempuan yang
setara adalah tantangan, karena hal ini bukan saja berarti perempuan bangkit
dan melawan narasi hidup yang mereka alami, tetapi merupakan proses untuk terus
menunjukkan bahwa kami bisa melakukan apa yang kalian bisa lakukan.
Harus
diakui bahwa usaha untuk menjegal dan menghentikan kekerasan yang terjadi pada
perempuan bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Selain karena faktor pelaku
kekerasan (biasanya laki-laki) yang sudah terlanjur ketagihan, perempuanpun
masih memilih untuk cenderung diam, membiarkan, dan memaafkan. Data kasus kekerasan
yang di catat oleh komnas perempuan sepanjang tahun 2013 silam benar-benar
menakutkan, yakni sebanyak 279.760 kasus!
Adalah
tanggung jawab kita semua untuk bersama-sama menghentikan kekerasan ini
terulang kembali. Tidak ada satupun perempuan yang kerasan dengan kekerasan.
Namun ibarat api, kekerasan tidak dapat dan tidak boleh dihentikan dengan
cara-cara kekerasan pula, pelaku kekerasan harus dibuat mengerti dan menyesal,
bukan malah dengki dan penuh dendam, bahwa kekerasan adalah tindakan biadab yang
merendahkan martabat manusia sebagai makhluk yang berakal dan berperasaan.
Mungkin,
para pelaku kekerasan itu adalah sekelompok orang-orang yang tidak berani
bersaing dengan perempuan, sehingga mereka mencegah dan menakut-nakuti
perempuan untuk tidak berkembang.Namun, perempuan yang mendiamkan kekerasan
adalah juga orang yang tidak berniat pada perbaikan dan kemajuan.
Jika
selama ini isu-isu tentang perempuan masih terkesan dikesampingkan, maka inilah
saatnya dimana perempuan harus bangkit dan menunjukkan bahwa mereka ada bukan
untuk disiksa. Meskipun perjuangan ini masih panjang dan terkesan berat untuk
dilakukan, namun hal ini harus segra dimulai.Perempuan dan laki-laki harus
mengerti bahwa kita semua ada untuk saling melengkapi dan membuat narasi kehidupan
yang penuh harmoni.
Kekerasan
adalah segala sesuatu yang umumnya berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan yakni penggunaan
kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan tersebut, dan
menyebabkan kerugian baik untuk diri sendiri maupu orang atau objek lain (Adolf Berger. 1953). sementara Defenisi kekerasan
terhadap perempuan yang ada dalam Deklarasi PenghapusanKekerasan Terhadap
Perempuan (PBB, 1993) adalah;
Pasal 1 dari Deklarasi menyatakan:
Kekerasan terhadap perempuan adalah “setiap tindakan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat atau mungkin
berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau
psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam
kehidupan pribadi”.
Pasal 2 dari Deklarasi menyatakan :
“Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak
hanya terbatas pada: tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang
terjadi di dalam keluarga dan di masyarakat, termasuk pemukulan, penyalahgunaan
seksual atas perempuan kanak-kanak, kekerasan yang berhubungan dengan mas
kawin, perkosaan dalam perkawinan (marital rape), pengrusakan alat kelamin
perempuan dan praktik- praktik kekejaman tradisional lain terhadap perempuan,
kekerasan diluar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan
eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman
seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya,
perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa. Serta termasuk kekerasan
yangdilakukan dan dibenarkan oleh negara di manapun terjadinya”.
Berikut adalah faktor-faktor penyebab
terjadinya kekerasan, yakni
a.
Ketiadaan dukungan sosial yang memahami kompleksitas situasi yang
dihadapi perempuan.
Hal ini terutama terjadi apabila perempuan
ditempatkan hanya dalam ruang domestik. Orang yang berada di luar ruang
tersebut cenderung tidak berani masuk untuk bertanya apalagi membantu
b.
Citra diri yang negatif.
Perempuan cenderung memandang rendah diri
mereka sendiri dan mengikatkan diri secara berlebihan kepada laki-laki
(pasangan). Terkadang menganggap kekerasan wajar di berikan karena dirinya yang
keliru bersikap, atau tidak cukup memuaskan keinginan pasangan sehingga ada
pemakluman yang dibuat sendiri sebagai bentuk hukuman atas kesalahan yang
dilakukan.
c.
Keyakinan bahwa pelaku kekerasan (pasangan) akan berubah
Umumnya perempuan mempercayai bahwa si pelaku
kekerasan pada dasarnya adalah orang yang baik, tindak kekerasan yang ia
lakukan hanyalah respon terhadap stress dan tekanan hidup saja.
Sehingga kelak pasti akan berubah. Dan dari beberapa kasus yang pernah saya
tangani, rata-rata perempuan cenderung memaafkan meskipun kekerasan sudah di
lakukan berkali-kali
d.
Kesulitan ekonomi.
Perempuan, terutama yang tidak produktif secara
ekonomi, cenderung menerima tindak kekerasan karena ketergantungan ekonomi.
Mereka lebih takut menghadapi kerasnya berjuang mencari arti kemandirian dan
cenderung menikmati kekerasan yang sebenarnya tidak mereka kehendaki
e.
Kekhawatiran tidak dapat membesarkan anak dengan baik tanpa
kehadiran pasangan; atau keyakinan bahwa apapun yang terjadi, keluarga dengan
orang tua lengkap masih lebih baik daripada keluarga dengan orangtua tunggal.
Perempuan cenderung mengesampingkan apa yang dirasakan dan lebih memilih ‘aman’
dari gunjingan tetangga.
f.
Keraguan bahwa mereka akan dapat bertahan dalam dunia yang kejam,
karena merasa suami yang selama ini baik padanya saja bisa berbuat jahat
terhadapnya, apalagi lingkungan sosial yang tidak terlalu dikenalnya.
g.
Akhirnya perempuan dapat terus bertahan dalam kondisi kekerasan,
karena kekhawatiran adanya pembalasan dan kekerasan yang lebih hebat yang akan
diterimanya (dan dialami orang-orang yang dekat dan dicintainya) bila ia
berusaha meninggalkan pasangannya (Luhulima, 2000: 33).
Perempuan: melawan dan bangkit
Sebagai
seorang perempuan yang konsen terhadap isu kekerasan pada perempuan, saya
percaya bahwa perempuan memiliki peranan yang penting dalam kemajuan sebuah
bangsa. Penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan langkah awal untuk
melibatkan perempuan dalam proses pengembanan dan kemajuan bangsa.
Jika saya
menjadi pemimpin perempuan, hal utama yang akan saya lakukan pertama adalah terkait
dengan isu-isu kesetaraan gender. Yakni:
a.
Penyadaran hak dan kewajiban perempuan
Kesadaran
tentang hak dan kewajiban yang minim dilandasi oleh pendidikan yang rendah,
semakin rendah semakin pasrah (mungkin itu ungkapan yang paling tepat
disandingkan sebagai analogi perempuan yang masih saja tak di beri kesempatan
mendapat pendidikan). Perempuan bukan lagi minoritas (secara kuantitas), pun secara
kualitas mereka mampu sejajar dengan laki-laki bahwa bisa jauh diatas
laki-laki. Dari situlah, ada sebuah keyakinan bahwa perempuan bisa dan berdaya
untuk menjadi merdeka.
b.
Upaya melek
hukum
Perempuan
setidaknya diajak untuk membaca dan mempelajari bahwa kekerasan adalah tindakan
yang melanggar hukum, sehingga hal itu memiliki konseksuensi hukum bagi
pelakunya. Bukan perbuatan yang selesai hanya dengan pemakluman, ketika
perempuan melek hukum, maka secara tidak langsung mereka akan mampu bertindak
tegas ketika ada perilaku tidak menyenangkan terjadi
c.
Keamanan
Rasa aman
harus diwujudkan sebagaimana hal tersebut merupakan semangat kehidupan
berbangsa yang berlandaskan pada demokrasi. Selama ini ruang public seakan
tidak member jaminan keamanan pada perempuan, sehingga pelecehan seksual masih
sering terjadi (pelecehan seksual di busway misalnya). Dari fenomena itulah
perlu adanya pengawasan dan penanganan lebih lanjut agar perempuan aman dan
tidak terancam dimanapun.
d.
Pendampingan hukum
Melek hukum
bukan jaminan bahwa perempuan, terutama korban kekerasan memiliki kemampuan dan
kemauan untuk membawa kasus kekerasan yang mereka alami ke ranah hukum. Oleh
karenanya diperlukan pendampingan hukum kepada korban kekerasan hingga proses hukum
selesai. Agar tindakan-tindakan diskriminatif maupun pelecehan yang terjadi
pada perempuan tidak menguap dan disepelekan begitu saja
e.
Peningkatan partisipasi perempuan
Ruang
apresiasi jelas sangat dibutuhkan untuk mendengar kelur kesah perempuan, budaya
yang masih menganggap perempuan subordinasi menjadi alasan kenapa perempuan
terus saja di pandang sebelah mata, ‘konco wingking’ dan hanya pelengkap. Di
posisikan di belakang dan tidak cukup di dengar pendapatnya.
Menjadi
pemimpin perempuan memang bukan perkara remeh, selain banyak yang mencibir
banyak juga yang masih meragukan kemampuan perempuan dan berpendapat bahwa
kepemimpinan yang dipegang perempuan akan gagal. Meskipun sudah banyak bukti
pemimpin perempuan yang mampu memimpin bangsa, namun hal tersebut belum cukup
kalau perempuan sendiri tidak yakin dengan kemampuannya sendiri dan
memperjuangkannya. Tidak hanya sosial yang masih mempertanyakan, dalil-dalil
agama pun ikut andil untuk menghancurkan semangat perempuan untuk bangkit.
Padahal sebagaimana kita ketahui, menjadi pemimpin adalah bukan perkara
kelamin, melainkan perkara mengorganisir, memanagement dan mengelola.
Terdapat
empat factor yang berpengaruh dalam kepemimpinan perempuan (Kanter 1976) yakni:
1.
The mother (keibuan).
Pemimpin perempuan
cenderung bersikap sebagaimana layaknya seorang ibu (naluriah). Pemimpin
perempuan cenderung ‘ngemong’ dan sabar dalam memimpin
2.
The pet (kesayangan).
Pemimpin
perempuan mampu menjadi teman dekat yang baik sehingga mereka cenderung di
sayangi oleh bawahannya. Karena perempuan memilik sikap yang hangat dan terbuka
3.
The sex object (dorongan).
Pemimpin
perempuan mampu menjadi penyemangat dan motivator bagi para anak buahnya/
karyawannya.
4.
The iron maiden (wanita besi).
Pemimpin
perempuan mampu bersikap tegas dan kuat dalam menghadapi situasi. Mungkin hal
ini bisa saja di kaitkan dengan culture perempuan yang terbiasa dibesarkan
dengan berbagai macam kondisi hidup yang keras. Sehingga secara tidak langsung
hal tersebut membuat perempuan cenderung lebih tangguh
Hal ini
menjadi bukti bahwa ada banyak hal yang mampu dijadikan bukti bahwa perempuan
berhak dan layak menjadi seorang pemimpin. Dan persoalan kepemimpinan tidak
lagi dinilai hanya dari persoalan per-kelamin-an tapi persoalan kemampuan dan
kemauan, pembatasan-pembatasan dengan dalih agamapun bukan menjadi alasan,
karena dalil agamapun harus di sesuaikan dengan konteks yang ada saat ini.
Bukan disama ratakan dengan masa ketika alqur’an diturunkan
Makna kesetaraan bukanlah isapan jempol dan imaginasi yang
hanya mampir di kepala, tapi hal tersebut merupakan tumpukan harapan yang di
bawa oleh sekian banyak perempuan khususnya di Indonesia demi mendapatkan hak
yang seharusnya di dapat sejak dulu. Sudah saatnya perempuan di percaya dan di
beri kesempatan memimpin
Pun
berbagai macam tindakan diskriminatif karena ketidak adilan gender seperti
marginalisasi, subordinasi, beban ganda, kekerasan dan streotip yang sering di
terima perempuan mampu lebur dan perempuan mampu beriringan dengan laki-laki
dan bukan di anggap sebagai ‘konco wingking’. Karna saya percaya keyakinan akan
melahirkan kepercayaan diri yang mampu membawa perempuan ke garda depan.
Terakhir
semoga hasil tulisan ini mampu menginspirasi para pembaca terutama para
perempuan agar tersadar bahwa kita mampu berkiprah dimanapun (tidak hanya di
ruang domestic) tapi juga di ranah public selama kita memiliki kemauan dan
tekat yang kuat.
*Tulisan ini telah di terbitkan di dalam buku Bunga Rampai, Imaji Kepemimpinan Perempuan, 2014. Indonesia Beragam
0 komentar:
Posting Komentar